top of page
Writer's pictureAdmin

Kisah Epik Cinta Platonik

“Mun naksir santriwati, tulis we ngarana di kertas, terus sakuan.” (kalau kita ngeceng/naksir sama santri putri, cukup tulis saja namanya, terus kita simpan tulisan itu di saku.) 

Begitu pesan Kyai Miskun, pada wejangan pra kepulangan liburan bulanan santri. Nasihat Babeh (panggilan kami para santri kepada Kyai Miskun) merespons santri kaum buayawan yang akhir-akhir ini makin ganas melakukan manuver. Sering tersiar kabar santri dan satriwati meeting di kota ketika liburan. Babeh menyarankan agar santri nggak usah dulu pacaran deh. Kalau ngeceng boleh, nggak lebih dari itu. Buat saya yang waktu itu masih santri junior kelas 2 tsanawiyah, pesan itu buat saya jadi fatwa yang betul-betul saya serap dan terapkan. Sami'na waatha'na. Dari sanalah kisah epik cinta platonik saya dimulai.

 

Libur bulanan bagi kami seperti oasis bagi musafir padang pasir yang nggak nemu air selama 30 hari. Kami berkesempatan pulang ke rumah orangtua. Orang-orang Garut pulang dijemput atau naik angkutan kota, orang-orang Jakarta biasanya ikut orang Garut untuk perbaikan gizi atau tetap tinggal di asrama. Orang Bandung biasanya mengorganisir acara pulang bersama dengan mencarter bis MIOS. Nama-nama santri putra dan putri yang akan ikut pulang bersama dicatat dalam selembar kertas. Bagi siapa pun catatan itu tidak lebih dari kertas biasa, yang suatu hari bakal mampir di warung Bi Icah dan menjadi bungkus bala-bala. Tapi bagi saya, kertas itu menjadi kertas terpenting dalam sejarah hidup saya ... 


Di kertas daftar nama itu saya menemukan sebuah nama paling indah. Saya lipat kertas itu hingga menjadi lipatan yang sangat kecil dan hanya tersisa sebuah nama, “Mila Aparilia Zakiah”. Lipatan kertas itu saya simpan di saku dompet saya yang dilapisi plastik transparan, hingga setiap saya membuka dompet itu, nama itu selalu mengambil perhatian pertama. Kertas itu masih terus tersimpan sampai ratusan purnama berikutnya.


Jujurly, melihat wajahnya cuma beberapa kali. Pertama, ketika dia naik podium menerima anugerah sebagai anggota IPM (sejenis OSIS) teladan. Melihatnya for the first time, saya de javu, seperti melihat bayangan wajah sendiri di air yang sedang beriak kecil. Belakangan banyak teman yang mengatakan bahwa wajah kami mirip. Dan itulah yang membuat saya makin yakin kebenaran teori berikut: 


Di alam sana, manusia itu dulunya punya dua kepala, dua badan, empat tangan dan empat kaki, tapi cuma punya satu hati. Lalu tuhan memisahkan mereka, yang satu jadi laki-laki yang satu perempuan. Mereka punya badan yang utuh, tapi hatinya cuma sepotong! Ketika kita hidup di dunia sebetulnya di suatu tempat (yang tak pernah kita ketahui) ada seorang perempuan yang dulunya belahan jiwa kita. Satu sama lain akan saling mencari. Jangan takut ketuker, kita akan bertemu dengan pasangan jiwa kita (suatu hari nanti) yang wajahnya punya guratan yang hampir sama. 


Pertemuan kedua terjadi pada sebuah pelatihan kepemimpinan. Sebagai panitia saya bisa mengamatinya dalam jarak yang cukup dekat, dan dapat menangkap wajah seorang perempuan yang tertunduk sejuk. Saya mencuri pandang sambil bergerak dengan mode slow motion mirip dalam adegan sinetron.

 

Meskipun saya sadar saya jatuh cinta, tapi saya tak pernah menyatakannya. Saya dan beberapa teman terinspirasi oleh sebuah cerpen Fasial Baraas di koran Republika awal tahun 90an:


Dikisahkan dua orang mahasiswa kedokteran yang menjalin persahabatan dan memendam rasa cinta tanpa mengunkapkannya hingga enam tahun lamanya. Ketika mereka diwisuda bersama, si lelaki langsung melamarnya, dan cerita pun berakhir happy ending. Pelajaran cinta yang amazing banget buat mazhab kami: bahwa cinta tak usah diungkapkan, biar cinta memancar sendiri membentuk tali gaib yang mengikat kesetiaan dalam waktu yang lama. Itulah cinta platonik.



Saya tak gentar walaupun sejumlah kabar burung mengatakan bahwa dua orang kakak kelas saya menjadi rival memperebutkannya. Tapi saya tak pernah merasa bersaing dengan siapa pun, sebab dia adalah manusia dengan hati sepotong, dan sepotongnya ada di dada ini. Wajah saya lebih mirip dibanding dengan orang-orang yang mengaku sebagai pesaing. Soal persaingan ini banyak hal yang agak konyol terjadi.


Sebagai komunitas yang terdiri dari sekitar 400 orang santri laki-laki yang hidup di sebuah komplek asrama, kami selalu berkumpul setiap acara makan. Ketika itulah saya sering berpapasan dengan kakak kelas yang disebut-sebut sebagai saingan. Dan saat itulah teman-teman kami memanas-manasi, seperti serombongan suporter yang sedang mengarak jagoannya memasuki ring tinju. Bahkan satu ketika saya pernah diseret dari asrama menuju lapang pingpong. Saya baru sadar maksudnya setelah melihat seseorang yang berdiri di seberang meja dengan bet di tangan, tatapannya seolah berkata, “ayo kita buktikan siapa yang berhak mendapakatan perempuan yang kita perebutkan!”

Where focus goes, energy flows

Ke mana fokus kita arahkan, ke sana energi kita mengalir. Energi cinta saya simpan pada nama yang terlipat dalam dompet. Biarkan tuhan yang menjaga. Selanjutnya fokus saya arahkan pada kegiatan belajar, berkarya dan berorganisasi. Ke sanalah energi saya mengalir menjadi karya, seperti Majalah PesanTrend, majalah pertama di Pesantren Darul Arqam yang lahir tahun 1993. Saat kuliah saya fokus di koran kampus dan Pimpinan Pusat IPM, dan melahirkan Sanggar Belajar Anak Jalanan (Sabar Aja) dan majalah RETAS. Kuliah yang juga memerlukan energi besar, saya selesaikan sebelum genap empat tahun dengan nilai cume laude.


Tak lama setelah menerima ijazah pada upacara wisuda, nama yang delapan tahun tersimpan di dompet, kini dituliskan pada buku nikah. Dua hati yang dulu satu dan sempat terpisah, akhirnya bersatu kembali. Bukti nyata hasil cinta platonik yang epik.



Irfan Amali

Ditulis pertama kali pada 17 desember 2005 untuk buku Capruk for The Soul IKADAM dengan versi yang cukup panjang.Diedit ulang menjadi versi yang lebih pendek pada Desember 2023 sebagai bahan memberikan wejangan untuk santri-santri Peacesantren Welas Asih yang sudah pada mulai jatuh cinta. 



240 views0 comments

Comments


bottom of page